-->


Sabtu, 16 Juni 2012

Banjir Nabi Nuh Tidak Seperti Yang Anda Ketahui


Habis menyaksikan film “2012”, mungkin di akhir-akhir adegan anda akan melihat ketika gajah dan jerapah yang begitu besar perlu repot-repot ikut diangkut ke dalam bahtera yang diceritakan akan menyelamatkan sisa umat manusia dari ancaman bencana global yang terjadi tahun 2012. Mungkin anda pun tidak merasa asing dengan adegan tersebut dan mungkin langsung “klik” mengerti maksud cerita para binatang ikut diangkut ke dalam bahtera. Ya, tidak lain tidak bukan ide sang scriptwritter film dan kisah yang tidak asing di pikiran anda ini diilhami dari kisah banjir Nabi Nuh yang terjadi ribuan tahun lalu.

Memang luar biasa, kisah banjir Nabi Nuh ini tidak hanya termuat dalam Al Quran, tetapi juga dalam kitab Perjanjian Lama umat nasrani; dalam rekaman sejarah kaum Assiria-Sumeria di Babilonia; dalam legenda-legenda Yunani; dalam epik Shatapatha Brahmana; dalam kitab Mahabarata dari India, dalam beberapa legenda dari Wales; dalam Nordic Edda dari Skandinavia; dalam legenda-leganda Lituania; dan bahkan dalam cerita-cerita yang berasal dari Cina. Semuanya mengisahkan kisah yang serupa, meski dengan ciri-ciri dan nama tempat berbeda-beda, namun mengisyaratkan satu yakni sebagai sebuah bentuk peringatan.


Jika ditilik, bayangkan bagaimana mungkin satu cerita yang sama bisa berkembang di daerah-daerah yang tidak punya ikatan secara geografis, kultur maupun waktu. Jawabannya jelas sekaligus menunjukkan kebenaran dan kekuasaan Allah, yakni para Nabiyullah-lah yang membawa kisah ini kepada kaumnya. Ya, para Nabi yang diutus ke sudut-sudut Bumi oleh Allah untuk menyiarkan agama Tauhid benar ternyata satu sumber, yaitu Allah SWT sebagai Sang Maha Pemilik Kebenaran. Allah mengajarkan kisah banjir Nabi Nuh kepada para Nabi sebagai sebuah pelajaran untuk disampaikan kepada kaumnya masing-masing.

Nah, inilah sebenarnya yang ingin penulis bahas. Di balik diriwayatkannya kisah banjir Nabi Nuh dalam berbagai budaya dan berbagai ajaran agama, cerita ini telah terpendar dari kisah aslinya dikarenakan kepalsuan sumber cerita, pemindahan cerita yang tidak benar, ataupun kesengajaan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyesatkan umat. Riset menyatakan bahwa kisah yang beredar masih berkaitan namun mengandung banyak perbedaan. Hanyalah tinggal Al Quran yang menceritakan kisah ini dengan sangat detail dan konsisten.

Alur cerita yang banyak beredar di masyarakat hari ini, singkatnya bahwa kaum Nabi Nuh telah mendustakan kebenaran ajaran yang dibawa Nabi Nuh, sehingga Allah akan menurunkan azab kepada kaum tersebut dalam bentuk banjir besar yang melanda dunia. Lalu, Nabi Nuh diperintahkan untuk membuat sebuah kapal besar dari kayu, dan mengangkut orang-orang beriman yang setia terhadap ajaran Nabi Nuh dan semua spesies yang ada di Bumi sepasang jantan betina. Maka, ketika hujan lebat turun dan air mulai keluar dari tanah, datanglah banjir besar yang menghancurkan seisi Bumi kecuali umat Nabi Nuh yang selamat karena naik ke atas bahtera.

Intinya seperti itu, tetapi harus kita akui jika kisah yang dipaparkan tersebut di luar akal penalaran. Tentu jika dipikir-pikir, pasti banyak sangkalan dan sanggahan dari sisi logika kita terhadap kisah tersebut. Misalnya, tentu mustahil terjadi banjir global, karena menurut kajian ilmiah jumlah air di Bumi ini tetap sehingga tidak mungkin air bisa meluap serentak di seluruh Bumi hingga airnya menenggelamkan puncak gunung. Juga kemustahilan Nabi Nuh punya cukup waktu dan transportasi untuk bisa mengoleksi semua jenis binatang dari seluruh penjuru Bumi satu jantan dan satu betina lalu dinaikan ke kapal, bayangkan jika itu benar lalu bagaimana caranya membedakan serangga kecil jantan dengan serangga kecil betina. Bagaimana cara mengangkut gajah Afrika, kangguru Australia, beruang kutub, ular cobra India, walrus Inggris, Harimau Sumatra, dan lain sebagainya untuk bisa masuk ke dalam bahtera. Belum lagi bahtera yang dibuat harus sebesar apa agar bisa memuat seluruhnya. Ditambah lagi setelah air surut, bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang itu sesuai dengan tempatnya. Sesuatu yang diluar penalaran.

Semua penyangkalan akibat pembelokan kisah aslinya tersebut efeknya bisa melemahkan keimanan kita kepada kisah Nabi Nuh yang sesungguhnya, bahkan ekstrimnya bisa menafikan adanya peringatan Allah atas kedurhakaan suatu kaum, atau lebih parah lagi karena nurani yang menyangkal kebenaran kisah ini dari sisi ilmiah akhirnya melemahkan keimanan terhadap isi Al Quran dan ajaran Rasulullah yang dianggap sebagai pembawa kisah ini. Padahal masalahnya bukanlah sumber Al Quran yang salah, melainkan karena banyak pembelokkan cerita, sedangkan Al Quran menyatakan kebenaran tentang kisah ini yang sangat logis dari sisi ilmiah, akal maupun nalar.

Berikut yang penulis kutip dari buku terjemahan dari Harun Yahya:

Apakah Banjir itu Bencana Lokal Saja ataukah Global ?

Mereka yang menolak realitas terjadinya Banjir masa nabi Nuh, menopang pendirian mereka dengan menyatakan bahwa banjir global atas seluruh dunia adalah suatu hal yang mustahil. Bukan hanya itu, penyangkalan mereka atas terjadinya banjir yang bagaimanapun bentuknya adalah ditujukan untuk menyerang apa yang telah dikemukakan al-Qur’an. Menurut mereka, semua kitab yang berasal dari wahyu, termasuk al-Qur’an, mempertahankan pendirian bahwa banjir Nuh adalah banjir yang global, dan karenanya, seluruh berita itu adalah informasi yang keliru.

Penolakan terhadap pernyataan al-Qur’an ini tidak benar. Al-Qur’an diwahykan oleh Allah, dan al-Qur’an ini merupakan satu-satunya kitab suci yang tidak terrubah. Al-Qur’an memandang banjir dengan sudut pandang yang sangat berbeda dibandingkan cara pandang Pentateuch dan legenda-legenda tentang banjir yang lain yang diriwayatkan dalam berbagai kebudayaan. Pentateuch, nama bagi lima buku (kitab) pertama dalam Perjanjian Lama, menyatakan bahwa banjir tersebut bersifal global, menutupi seluruh bumi. Namun, al-Qur’an tidak memberikan keterangan seperti itu, dan sebaliknya, ayat-ayat yag relevan dengan peristiwa ini membawa pada suatu kesimpulan bahwa banjir itu hanya bersifat regional (menutupi wilayah tertentu) dan tidak menutupi seluruh bumi, dan hanya menenggelamkan umat Nabi Nuh saja yang mereka itu telah diberi peringatan oleh nabi Nuh dan akhirnya membangkang, sehingga mereka dihukum.

Ketika riwayat-riwayat tentang banjir dalam Perjanjian Lama dan riwayat-riwayat sejenis dalam Al-Qur’an diuji, perbedaannya sederhana saja. Perjanjian Lama, yang telah mengalami banyak perubahan dalam penambahan sepanjang sejarahnya, yang karenya tidak bisa dinilai sebagai wahyu yang orisinil, menggambarkan bagaimana banjir berawal dalam uraian sebagai berikut:

“Dan Tuhan melihat bahwa kejahatan manusia di bumi adalah besar, dan bahwa setiap imajinasi dari pikiran-pikiran dalam hatinya hanya selalu perbuatan jahat. Dan ini menjadikan Allah menyesali bahwa Dia telah menciptakan manusia, dan ini menyedihkan hatiNya. Dan Tuhan berkata, “Saya akan membinasakan manusia yang telah saya ciptakan dari permukaan bumi; kedua jenis yang ada, manusia dan binatang, dan segala yang merayap, dan unggas-unggas di udara, yang karena telah mengecewakanKu yang telah mencipatakan mereka. Akan tetapi, (Nabi) Nuh mendapatkan kasih sayang di mata Tuhan” (Genesis, 6: 5-8)

Meski demikian, dalam al-Qur’an, diperlihatkan dengan jelas bahwa banjir itu tidak meliputi seluruh dunia (bumi), tetapi hanya umat Nabi Nuh yang dihancurkan. Tidak berbeda sebagaimana Nabi Hud diutus hanya untuk kaum ‘Ad (QS. Hud: 50), Nabi Shalih diutus untuk kaum Tsamud (QS. Hud: 61) serta seluruh Nabi kemudian sebelumMuhammad adalah diutus hanya untuk umat mereka saja, Nabi Nuh hanya diutus untuk umatnya dan banjir tersebut hanya menyebabkan punahnya umat Nabi Nuh;

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. (QS. Hud: 25-26)

Mereka yang dimusnahkan adalah orang-orang yang secara total tidak menghiraukan Proklamasi Nabi Nuh akan kerasulannya dan senantiasa menentang. Ayat-ayat yang senada telah menggambarkan dengan cara yang cukup gamblang:

Maka mereka mendustakan Nuh , kemudian kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).(QS. Al-A’raf: 64).

Di samping itu, dalam al-Qur’an , Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan menghancurkan suatu komunitas masyarakat kecuali seorang rasul telah diutus kepada mereka. Penghancuran terjadi jika seorang pemberi peringatan telah sampai kepada suatu kaum, dan pemberi peringatan itu didustakan. Allah menyatakan hal itu dalam Surat al-Qashash:

Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman. (QS. Al-Qashash: 59).

Bukanlah cara Allah untuk mengancurkan suatu kaum yang kepada mereka belum Dia turunkan rasul. Sebagai seorang pemberi peringatan, Nuh hanya diutus untuk kaumnya saja. Karena itu, Allah tidak menghancurkan kaum-kaum yang kepada mereka tidak Dia utus rasul, akan tetapi Allah hanya menghancurkan umat Nabi Nuh.

Dari penyataan-pernyataan dalam al-Qur’an ini, kita bisa memastikan bahwa banjir tersebut adalah bencana yang bersifat lokal, bukannya global (seluruh dunia). Penggalian-penggalian yang dilakukan pada daerah-daerah arkeologis yang diperkirakan sebagai lokasi terjadinya banjir – yang nanti akan kita bahas berikutnya— menunjukkan bahwa banjir tersebut bukanlah sebuah peristiwa global yang mempengaruhi seluruh bumi, akan tetapi merupakan sebuah bencana yang sangat luas yang mempengaruhi bagian tertentu dari wilayah Mesopotamia.

Apakah Seluruh Binatang ikut Dinaikkan ke atas Perahu?

Para penfasir Bibel yakin bahwa Nabi Nuh memasukkan seluruh spesies binatang yang ada di muka bumi ke atas Perahu dan binatang-binatang itu bisa selamat dari kepunahan karena kebaikan Nabi Nuh itu. Menurut apa yang mereka yakini ini, setiap pasang dari tiap spesies yang ada di muka bumi juga dibawa bersama ke atas perahu.

Mereka yang mempertahankan pernyataan itu dengan tanpa ragu harus menghadapi kejanggalan-kejanggalan yang serius dalam berbagai hal. Pertanyaan tentang bagaimana berbagai jenis binatang yang diangkut ke atas perahu itu diberi makan, bagaimana mereka ditempatkan di dalam perahu itu (kandang-kandang untuk mereka), atau bagaimana mereka dipisahkan satu dengan lainnya adalah pertanyaan-pertanyaan yang mustahil bisa terjawab. Lagi pula, masih ada beberapa pertanyaan yang tersisa: bagaimana binatang-binatang yang berasal dari berbagai benua (daratan) yang berbeda bisa dibawa bersamaan – berbagai mamalia yang ada di kutub, kanguru dari Australia, atau bison yang Aneh dari Amerika?. Juga, masih adalah berbagai pertanyaan lebih banyak lagi, seperti, bagaimana binatang yang sangat membahayakan – yang berbisa seperi berbagai jenis ular, kalajengking dan binatang-binatang buas – itu semua bisa ditangkap, serta bagaimana mereka bisa bertahan padahal dipisahkan dari habitat alamiahnya untuk suatu waktu hingga banjir itu surut?.

Ini adalah berbagai pertanyaan yang dihadapi oleh Perjanjian Lama. Di dalam al-Qur’an, tidak ada pernyataan yang mengindikasikan bahwa seluruh spesies binatang di muka bumi dinaikkan ke atas perahu. Dan sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya, banjir tersebut terjadi dalam sebuah wilayah tertentu saja, sehingga, binatang yang dinaikkan perahu pun hanyalah yang hidup di wilayah di mana umat Nabi Nuh itu tinggal.

Meski demikian, ini adalah bukti bahwa mustahil sekalipun hanya untuk mengumpulkan seluruh jenis binatang yang hidup di wilayah tersebut. Sulit dipikirkan Nabi Nuh beserta sejumlah kecil orang-orang yang beriman yang menyertainya pergi menuju ke segala penjuru untuk mengumpulan masing-masing dua ekor dari ratusan spesies binatang di sekitar mereka. Bahkan, lebih mustahil lagi bagi mereka untuk mengumpulkan berbagai tipe serangga yang hidup di wilayah mereka, serta untuk memisahkan antara yang jantan dan betina!. Ini alasan mengapa yang lebih memungkinkan adalah bahwa yang dikumpulkan itu hanya binatang yang bisa dengan mudah ditangkap dan dipelihara, dan karenanya, binatang tersebut adalah binatang ternak yang secara khusus berguna bagi manusia. Nabi Nuh agaknya memasukkan ke atas perahu binatang binatang sejenis itu, yakni seperti, sapi, biri-biri, kuda, unggas, unta dan sejenisnya, karena inilah binatang-binatang yang dibutuhkan untuk penyangga kehidupan baru bagi di wilayah yang telah kehilangan sejumlah besar prasarana hidup dikarenakan bencana banjir tersebut.

Di sini masalah penting terletak pada bahwa kebijaksanaan Ilahiah dalam perintah Allah kepada Nabi Nuh untuk untuk mengumpulkan berbagai binatang terletak pada arahan untuk menumpulkan binatang-binatang yang dibutuhkan untuk kehidupan baru setelah banjir berakhir daripada untuk kepentingan mempertahankan genus berbagai binatang. Selama banjir itu bersifat lokal, maka kepunahan berbagai jenis binatang tidak akan mungkin terjadi. Agaknya ada kecenderungan bahwa pada masa setelah banjir, berbagai binatang dari wilayah-wilayah lain bermigrasi ke tempat tersebut dan memadati daerah tersebut dengan cara kehidupan lama yang pernah ada. Sehingga yang terpenting adalah bahwa kehidupan bisa dirintis kembali begitu banjir berakhir, dan binatang-binatang yang dikumpulkan (dan diangkut ke atas perahu) adalah dimaksudkan untuk tujuan perintisan kehidupan seperti itu.

Berapa Tinggikah Air Banjir Tersebut?

Perdebatan lain di seputar masalah banjir itu adalah, apakah banjir itu memancar dan menggenang sebegitu tingginya sehingga menenggelamkan gunung? Sebagaimana telah diberitahukan, al-Qur’an menginformasikan kepada kita bahwa perahu Nabi Nuh itu terdampat di suati tempat yang bernama “al-Judi” setelah banjir selesai. Kata-kata “judi” secara umum merujuk pada lokasi gunung tertentu, sedangkan kata-kata itu memiliki arti “tempat yang tinggi atau bukit”. Karenanya, hendaknya jangan dilupakan bahwa di dalam al-Qur’an , “judi” bisa jadi tidak digunakan sebagai nama bagi gunung tertentu, akan tetapi untuk menunjukkan bahwa perahu telah terdampar dan terhenti pada sebuah tempat yang tinggi. Di samping itu, makna dari kata-kata “judi” yang disebutkan di atas mungkin juga memperlihatkan bahwa air bah itu mencapai ketinggian tertentu, tetapi tidak mencapai ketinggian puncak gunung. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa yang paling memungkinkan adalah bahwa banjir itu tidak menenggelamkan seluruh bumi dan seluruh gunung sebagaimana digambarkan dalam Perjanjian Lama, tetapi hanya menggenangi wilayah tertentu saja.

Seperti itulah fakta yang bersesuaian dengan Al Quran, semoga bisa meluruskan apa yang kita yakini sehingga tidak ada lagi keraguan atas ajaran Islam. Oleh karena Islam mengajarkan kebenaran bukan sekedar dogma tanpa dasar, sehingga tak ada ajaran Islam yang kontradiktif dengan fakta ilmiah. Sekali lagi, semoga bisa mencerahkan dan mempertebal keimanan kita. Mangga disebar ke muslim yang lain, juga sebenarnya artikel asli Harun Yahya ini masih panjang dan sangat detail, jadi akan lebih baik jika juga mencari sumber aslinya sehingga pengetahuan akan lebih kaya dan jelas.

Wallahualam bishshawab.

Ditulis ulang oleh Angga Kusumadinata

Sebagian besar diambil dari buku terjemahan “PERISHED NATIONS” karya Harun Yahya, yang diterbitkan oleh Ta-Ha Publisher Ltd, London, Edisi Kedua, April 1999.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates